Kisah Setelah Ziarah ke Masjid Agung Sunan Ampel, Surabaya oleh Almarhum H. Rosihan Anwar

Kata Pengantar yang ditulis oleh H. Rosihan Anwar
Pada Buku Haul Agung Sunan Ampel ke 544

Sahabat saya, Mbah Guntur senang sekali mendengar saya telah ziarah ke Mesjid Agung "Sunan Ampel" bersama pengusaha nasional H. Probosutejo dan ketua umum Dekopin Prof.Dr.Sri Edi Swasono tahun lalu. Mengapa dia senang? karena berziarah ke makam Sunan Ampel, pada hemat Mbah Guntur, akan membuat saya lebih terbuka dan dapat memahami hal yang ghaib. Dengan demikian perkembangan spiritual saya akan lebih mantab

Syukurlah kalau Mbah Guntur senang, sebab memang tugas saya di dunia ini diantara lain ialah berusaha menyenangkan hati orang, menimbulkan harapan di kalbu orang yang sedang kesulitan, membina keyakinan orang, supaya berjuang terus untuk kesejahteraan dan keadilan umat manusia.

Tetapi untuk selanjutnya, ziarah saya ke "Masjid Agung" SUNAN AMPEL" tidak ada yang ghaib bagi saya. Biasa saja rasanya. Saya tidak punya bakat untuk berhubungan dengan yang ghaib, menerima pesan dari roh orang yang sudah berada di alam barzah, bergerak dalam alam mistik dan sebagainya. 

Teringat saya tahun 1962 waktu bercakap-cakap dengan Alm. Buya Hamka dirumahnya, saya tanyakan padanya apakah beliau seorang ulama Sufi karena Hamka telah menulis buku tentang Tasawuf. Buya Hamka menjawab : sama sekali tidak. "Saya tidak punya bakat untuk itu" ujarnya. Cocok, jika begitu. Saya tidak punya bakat untuk bergerak dalam alam mistik, tidak mungkin mengerti Tasawuf, apalagi mempraktekkannya.

Buku dimana H. Rosihan Anwar menuliskan pengalamannya
berziarah ke Mesjid Agung Sunan Ampel 

Maka tatkala pada malam hari besama Bp.H.Probosutejo, Prof.Dr.Sri Edi Swasono saya duduk di tepi makam Sunan Ampel mengukuti tahlil dan pembacaan doa yang dipimping oleh H, Nawawi Mohammad saya tidak merasa berhubungan atau dihubungkan dengan yang serba ghaib. 

Perasaan kuat yang ada pada saya ialah sepertinya saya sedang berhadap-hadapan dengan sejarah Islam di negeri kita ini, diingatkan akan perjuangan Sunan Ampel di masa lampau menyiatkan Islam. Sepertinya saya dihimbau untuk berjuang pula bagu syiar Islam di negeri kita ini dalam batas-batas kemampuan saya dan untuk itu perlulah saya terus menenggakkan akhlak yang baik, meredam ego atau rasa keakuan, memperdalam iman dan ketakutan. 

Karena itulah kemudian seusai ziarah ke makam Sunan Ampel pada kesempatan mengutarakan kesan-kesan saya mengutip sebuah ungkapan Sufi berbunyi "Rasul hikmah makhafatullah" atau Puncak kearifan adalah ketakutan kepada Tuhan. 

Bila kita takut kepada Tuhan kita lalu melakukan apa yang disuruhNya dan menjauhi apa yang dilarangNya. Kedengarannya sederhada bersahaja kesan saya itu. Tetapi, ojo kaget, dalam melaksanakann dan menghayati agama Islam saya juga sederhana saja tidak mau njelimet.

Gapura Dalam menuju Makam Sunan Ampel, Surabaya

Barangkali manusia itu bermacam-macam dan berbeda-beda tingkat dan derajatnya. Ada, yang sudah mendalam sekali pengajiannya. Ada, yang mempunyai kemampuan komunikasi dengan hal serba ghaib. Ada yang merasa dirinya keturunan Sunan Kalijaga. Ada, yang sudah ahli betul dalam fikh. Ada yang sudah mampu memimpin tarekat. 

Tetapi disamping itu ada pula yang biasa-biasa saja orangnya. Ada yang lugu, malahan bloon. Ada yang kerjanya hanya ngaji-ngaji dan sembahyang menurut aturan. Ada, yang tidak begitu kuat daya fikirnya tetapi tekun dan rajin dalam zikirnya. Ada yang berusaha menjadi orang baik dan berguna bagi sesamanya.

Bagaimanapun perbedaan diantara manusia itu, namun dalam mengabdi kepada Tuhan, menjadi hamba Allah, niscaya terdapat banyak persamaan. Dan persaman itulah yang ingin kita bina dan pupuk dengan subur, demi kejayaan agaa, demi kesejahteraan umat Islam. 

Maka pada peresmian perbaikan Masjid Induk Masjid Agung Sunan Ampel pada hari Ahad tanggal 14 Februari 1993, 22 Sya'ban 1413, kita semua bersyukur dan berterimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang menunjukkan kepada kita supaya teruslah tetap menegak menegakkan agama Islam, memarakkan syiar Islam di Seluruh Nusantara.

Jakarta, 26 Januari 1993

H. Rosihan Anwar*


*H. Rosihan Anwar (lahir di Kubang Nan Dua, Sirukam, Kabupaten Solok, 10 Mei 1922 – meninggal di Jakarta, 14 April 2011 pada umur 88 tahun) adalah tokoh pers Indonesia, meski dirinya lebih tepat dikatakan sebagai sejarawan, sastrawan, dan budayawan. Rosihan merupakan salah seorang yang cukup aktif dalam menulis. Dia telah menulis sekitar 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di Indonesia, serta di beberapa penerbitan asing.

No comments:

Post a Comment