Perjuangan Syech Burhanudin dalam Menyebarkan Islam di Sumatera Barat (Edisi Ziarah Waliyuallah Sumatera Barat)

Makam Syekh Burhanudin dalam Renovasi
Besarnya peranan Syekh Burhanudin sebagai sosok yang dikaitkan dalam Islamisasi di Sumatera Barat dikaji oleh Prof Dr H Duski Samad Tuanku Mudo MA Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang. Makalah mengenai pergerakan dan perjuangan Syekh Burhanudin menyebarkan agama Islam disajikan secara sistematis dari berbagai sumber sejarah.

Berbicara tentang perjuangan Syekh Burhanuddin dalam Islamisasi di Minangkabau terlebih dahulu harus dipahami bagaimana perjalanan sejarah Da’wah Islamiyah di Ranah yang terkenal dengan adat dan istiadatnya yang bersandar pada alam, Alam takabambang jadi guru. Beberapa ahli dan penulis sejarah selalu mengklasifikasikan perkembangan Islam pada masyarakat Minangkabau menjadi dua tahapan:

Pertama, melalui saudagar Arab dan India yang berkunjung untuk berdagang rempah-rempah dengan orang-orang di pulau Sumatera. Pada umumnya mereka beragama Islam dan pada saat yang sama mereka juga memperkenalkan Islam kepada penduduk setempat. Mereka menyiarkan Islam belum lagi secara terencana tetapi masih bersifat perseorangan dengan cara sembunyi-sembunyi.

Kedua, melalui pengaruh kerajaan Aceh yang memiliki pengaruh cukup luas di daerah Pesisir Barat Pulau Sumatera, tak terkecuali daerah Minangkabau. Daerah yang mendapat pengaruh langsung dari Aceh, misalnya Pelabuhan Laut Tiku, Pariaman, Padang, dan Pesisir Selatan. Pengaruh kerajaan Aceh ini telah terjadi jauh sebelum Syekh Burhanuddin berkunjung untuk belajar ke Aceh. Sebab, kejayaan Aceh telah ada sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin belajar pada Syekh Abdurrauf.

Amir Azli dalam tulisannya yang berjudul, “Pariaman Erat dengan Aceh Diperkirakan Berusia 420 Tahun” dalam Harian Haluan, Kamis 16 Januari 1992 mengungkapkan bahwa Pariaman dalam kajian Sejarah sekurang-kurangnya mempunyai tiga peranan penting pada zaman dahulu.

Pertama, sebagai basis kekuatan militer, kedua sebagai pusat perdagangan dan ketiga sebagai pusat pengembangan agama Islam di pesisir pantai Barat Sumatera.Sebagai bagian dari basis kekuatan armada laut, kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa ketika Aceh menyerang Portugis pada bulan Oktober 1556 M (di masa pemerintahan Sultan al-Kahhar) mengalami ketidak berhasilan, maka putra Husein –kemudian bergelar Sultan Ria’yat Syah- meminta bantuan ke Pariaman, yang ketika itu diperintah oleh Sultan Sri Alam. Setelah ia wafat diganti oleh Zainal Abidin yang juga terbunuh tanggal 5 Oktober 1579 M.

AlQuran di Makam Syekh Burhanudin

Kemudian A.I.Mc.Gregor yang mengutip “Vida de Mathias de Albuer-querquer” dalam buku Seaflight near singapore in the 1570’s menyebut bahwa tanggal 1 Januari 1577 M telah terjadi pertempuran antara armada Aceh yang dipimpin oleh Laksamana Serimaharaja berkekuatan 10.000 (sepuluh ribu) prajurit dan banyak meriam dengan Portugis di Selat Malaka. Pada pertempuran tersebut ikut juga Raja Ali Ria’yat Syah dari Pariaman. Diberitakan pihak Portugis mempunyai 12 kapal perang 1 batalion, 2 geleses, 3 geliot dan 3 briganyines.

Pariaman sebagai pusat perdagangan rempah-rempah menurut catatan dan laporan dari pelaut Inggris Sir James Lancaster bahwa penghormatan yang diterimanya dari Raja Aceh adalah sangat memuaskan, sebagai tanda bahwa orang Aceh adalah orang sopan dan suka pada tamu. Penghormatan ini dilakukan dengan memberikan jamuan yang terhidang dari bejana emas.

Selain itu, Sir Jame Lancaster pernah meminta kesempatan untuk membeli langsung lada ke Pariaman. Ia minta agar Sultan memberinya surat untuk dibawa ke Pariaman dengan mengunakan kapal Susanna. Surat tersebut masih tersimpan dalam Boendalan Library oxford, bernomor M.S e.4 ditandatangani dan dicap dengan huruf arab Assultan Alauddinsyah Bin Firman.

Sedangkan peranan Pariaman sebagai pusat pengembangan agama Islam dapat disimak dari tulisan DR. Schrieke dengan judul, “Atjehasche Invioed was dan ook niet te onderschatien.” Pengaruh Aceh di Pantai Barat tidaklah dapat dipandang kecil. Daghregister 1661,1663 dan 1664 M, mencatat pengaruh itu di beberapa tempat diantaranya jelas di Pariaman, Pauh, dan Ulakan yang merupakan pusat pengembangan agama Islam.

Hampir semua penulis sejarah sepakat bahwa masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau melukiskan betapa Pesisir Barat Minangkabau seperti Tiku, Pariaman sampai Indrapura telah berada dibawah pengaruh Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang pada waktu itu mencapai puncak kejayaannya dengan menguasai pantai Sumatera dari Barat sampai ke Timur.

Dari penjelasan sejarah di atas dapat dicatat bahwa jauh sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin ke Ulakan pengaruh Aceh bersamaan dengan pengembangan Agama Islam sudah berjalan juga, meskipun itu baru sebatas masyarakat pedagang dan orang-orang pesisir pantai saja. Sedangkan dalam catatan H.B.M Leter, Pono yang kemudian namanya diganti oleh Syekh Abdurrauf dengan Burhanuddin baru pulang ke Minangkabau tepatnya ke Ulakan pada tahun 1069 H/1649 M pada masa pemerintahan Aceh di bawah Raja Sultanah Tajul Alam Safyatuddin (1641-1675 M).


Gubah Makam Syekh Burhanudin

Dalam kondisi keagamaan sudah mulai terbentuk di Ulakan, Syekh Burhanuddin memulai perjuangannya menegakan Islam melalui pendekatan persuasif dengan menggunakan lembaga surau yang didirikan oleh sahabatnya Idris Khatib Majolelo di Tanjung Medan. Perjuangan Syekh Burhanuddin dalam mengembangkan Islam melalui surau dibantu oleh empat orang teman dekatnya yang dulu sama-sama belajar dengannya di Aceh. Keempat orang inipun dibuatkan pula surau untuk mempercepat proses pendidikan dan penyebaran Islam bagi masyarakat sekitarnya.

Kegigihan Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan Islam di tengah masyarakat yang masih buta agama menjadi buah bibir dan catatan sejarah bagi pengikutnya dikemudian hari. Ada beberapa cara yang ditempuh Syekh Burhanuddin dalam meneruskan perjuangan agama bagi masyarakat, yaitu:

Pertama, mengislamkan anak-anak dan remaja melalui permainan anak nagari yang masyhur dikala itu, antara lain main kelereng, gundu, main patuk lele (terbuat dari kayu yang dipukul dalam sebuah lobang, kemudian dilempar lagi untuk masuk ke lobang tersebut), dan main layang-layang.

Setiap kali main Burhanuddin selalu menang, akhirnya pemuda bertanya bagaimana caranya beliau main sehingga selalu menang. Burhanuddin menjelaskan dengan membaca Bismillah setiap akan main. Melalui permainan ini ia diterima oleh anak-anak dan remaja atau pemuda dan pada gilirannya mereka inilah yang mengajak orang tuanya masing-masing untuk belajar ke surau. Karena memang surau dalam tradisi di Minangkabau, bahkan sampai saat ini masih berfungsi utuh sebagai pusat pembinaan pemuda sekaligus tempat tidur mereka.

Kedua, Mengikuti permainan anak nagari, seperti main layang-layang dan main lainnya dengan tidak merusak nilai-nilai agama yang dimilikinya. Melalui permainan itu ia dapat memasuki semua lapisan masyarakat tanpa mengalami kesulitan yang berarti.

Banyak kisah menarik yang dituturkan oleh pengikutnya tentang kemampuan beliau berinteraksi dalam suatu pergaulan yang memuaskan semua lapisan masyarakat tanpa canggung. Pendekatan sosial yang diterapkan beliau sangat efektif bagi masyarakat yang memang sudah mengalami kemajuan berpikir yang baik dan memadai dengan adat dan budaya yang dimiliki setiap orang Minang.

Ketiga, menyampaikan Islam secara perlahan-lahan dan mencari persesuaian antara norma-norma agama dengan kultur masyarakat. Gerakannya dalam penobatan gelar setiap pemegang kekuasaan agama dalam masyarakat adalah bentuk nyata dari usaha beliau ke arah harmonisasi hubungan di dalam masyarakat, bahkan sampai sekarang kesan positifnya masih dirasakan.

Hasil dari gerakan tersebut terlihat dari tumbuhnya ratusan ulama (imam, khatib, labai dan tuanku) yang akhirnya memberikan corak tersendiri bagi struktur budaya dan kultural serta nuansa Islam di Minangkabau. Gerakan ini sekaligus mendorong timbulnya beratus-ratus ribu surau, mesjid dan rumah ibadah. Dan kemudian institusi ini menjadi cikal bakal dari lembaga pendidikan Islam dan kajian-kajian keislaman lainnya di bawah pimpinan ulama. Hampir setiap Jorong, (sekarang dusun), Desa (dulu korong), dan Nagari memiliki surau berikut dengan ulama yang memimpinnya.

Apabila hendak berziarah ke makam wali Allah, Syekh Burhanudin maka letak lokasinya di Tapakis, Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Berada di tepi jalan besar Jalan Pariaman Lubuk Alung - Pulau Air, apabila dari kota Padang maka mengambil jalan Padang - Bukit Tinggi lalu belok kiri mengambil Jalan Pariaman Lubuk Alung - Pulau Air.

No comments:

Post a Comment