Potret Diri Buya Hamka |
Nama Buya Hamka adalah nama yang lebih lekat dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah, seorang ulama, sastrawan, ulama, ahli filsafat, politikus dan seorang ahli tafsir. Nama Buya disandingkan di depan namanya, merupakan panggilan untuk orang minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa arab yang berarti ayahku sebagai penghormatan atas karya -karya beliau. Sehingga nama Buya Hamka menjadi nama yang lebih dikenal dari nama asli beliau, Abdul Malik Karim.
Saat ini telah 31 tahun sejak meninggalnya seorang Buya Hamka (wafat 24 Juli 1981 dimakamkan di blok AA I Tanah Kusir, Jakarta) tetapi segala tentang beliau masih terus dibicarakan, karya Buya Hamka seakan tak lekang oleh waktu masih terus digunakan dan dikaji serta perjalananan hidup beliau menjadi pelajaran yang diateladani. Buya Hamka merupakan tokoh yang besar karena mencintai ilmu pengetahuan bukan hanya dari mengikuti jenjang akademis. Karena Setelah Buya Hamka meninggalkan tanah kelahirannya, Minangkabau seakan beliau berguru pada kehidupan. Akhir 1924 di usia Buya Hamka yang ke 16 tahun Hamka berangkat ke tanah jawa, langsung ke Yogyakarta.
Saat ini telah 31 tahun sejak meninggalnya seorang Buya Hamka (wafat 24 Juli 1981 dimakamkan di blok AA I Tanah Kusir, Jakarta) tetapi segala tentang beliau masih terus dibicarakan, karya Buya Hamka seakan tak lekang oleh waktu masih terus digunakan dan dikaji serta perjalananan hidup beliau menjadi pelajaran yang diateladani. Buya Hamka merupakan tokoh yang besar karena mencintai ilmu pengetahuan bukan hanya dari mengikuti jenjang akademis. Karena Setelah Buya Hamka meninggalkan tanah kelahirannya, Minangkabau seakan beliau berguru pada kehidupan. Akhir 1924 di usia Buya Hamka yang ke 16 tahun Hamka berangkat ke tanah jawa, langsung ke Yogyakarta.
Di Yogyakartalah, Buya Hamka berkenalan dan belajar pergerakan Islam modern kepada H.O.S Tjokroaminoto, Kibagus Hadikusumo, R.M Soeryopranoto, dan H. Fakhrudin. Kepada H.O.S Tjokroaminoto, Buya Hamka belajar tentang Islam dan sosialisme, kepada R.M Soeryopranoto, Buya Hamka belajar tentang sosiologi dan kepada H. Fakhruddin beliau belajar ilmu Tauhid.
Makam Buya Hamka di TPU Tanah Kusir, Jakarta |
Tak lebih dari 6 bulan menimba ilmu di Yogyakarta, Buya Hamka berangkat ke Pekalongan menemui A.R Sutan Mansur yang merupakan Kakak ipar beliau sekaligus guru yang paling berpengaruh dalam hidup Buya Hamka. A.R Sutan Mansur adalah ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan kala itu. Di Tahun 1925, Buya Hamka kembali ke Padang Panjang dan turut mendirikan tabig Muhammadiyah di rumah ayahnya, Syech Abdul Karim bin Amrullah di Gatangan Padang Panjang.
Tahun 1927, Buya Hamka menjadi guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan kemudian pindah ke Padang Panjang pada tahun 1929. Selanjutnya Buya Hamka dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958.
Museum Buya Hamka di Pinggir Danau Maninjau, Sumtra Barat |
Buya Hamka hijrah ke Jakarta ketika diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Ketika Presiden Soekarno meminta Buya Hamka untuk memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam Politik di Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Beliaupun meletakkan jabatannya sebagai pegawai negeri. Buya Hamka terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946.
Pada tahun 1953, Buya Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada Masa kepemimpinan Presiden Soeharto, Buya Hamka oleh Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali dilantik sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tetapi bertahan tidak sampai 6 tahun (26 Juli 1975 - 23 April 1981) karena Buya Hamka mengundurkan diri karena ketidaksesuaian dirinya dalam hal kerjasama pemerintah dan ulama. Seorang diplomat ulung yang menjadi salah satu pemimpin Indonesia pada masa perang Revolusi, Moehammad Roem memberikan kesaksian mengenai profil Buya Hamka dalam buku "Kenang-Kenangan 70 tahun Buya Hamka". Moehammad Roem (mantan wakil perdana menteri, menteri dalam negeri dan menteri luar negeri pada masa Presiden Soekarno) mendeskripsikan Buya Hamka sebagai ulama yang tidak bisa dibeli. Karena ketika Buya Haka menjabat sebagai Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar anggota MUI tidak digaji.
Apabila hendak berziarah ke makam Buya Hamka (Prof. KH. Abdul Malik Karim Amrullah) Jakarta, maka pergilah ke kawasan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Lokasi makam Buya Hamka (Prof. KH. Abdul Malik Karim Amrullah) adalah di TPU Tanah Kusir di Jalan Veteran Raya, Jakarta Selatan. Letak persisnya adalah di Blok AA I, TPU Tanah Kusir sebelah kanan jalan bila dari arah Pondok Indah (setelah pompa bensin) dan sebelah kiri bila dari arah Tol JORR Veteran (setelah jembatan Sungai Pesanggrahan).
Apabila hendak berziarah ke makam Buya Hamka (Prof. KH. Abdul Malik Karim Amrullah) Jakarta, maka pergilah ke kawasan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Lokasi makam Buya Hamka (Prof. KH. Abdul Malik Karim Amrullah) adalah di TPU Tanah Kusir di Jalan Veteran Raya, Jakarta Selatan. Letak persisnya adalah di Blok AA I, TPU Tanah Kusir sebelah kanan jalan bila dari arah Pondok Indah (setelah pompa bensin) dan sebelah kiri bila dari arah Tol JORR Veteran (setelah jembatan Sungai Pesanggrahan).
No comments:
Post a Comment