Surabaya, kota pahlawan dikenal kini sebagai pusat dari pemerintahan provinsi Jawa Timur, kota perdagangan, kota tujuan wisata dan disebut pula kota destinasi kuliner yang lezat. Sejarah yang dipahami oleh masyarakat luas mengenai asal nama kota Surabaya adalah berdasarkan cerita rakyat pertempuran antara ikan sura dan buaya.
Ikan sura banyak disebut sebagai hiu karena bentuk biologis badan dengan paruh mulutnya mirip dengan ikan hiu karena tinggal di air tawar (sungai), orang mengatakan ikan hiu tawar, dan menurut legenda ikan sura itu pertama kali terlihat pada malam 1 suro jadi orang meyebutnya ikan sura).
Kota Surabaya sebagai Kota metropolitan terbesar kedua setelah Jakarta merupakan kota yang ramai sejak dahulu kala. Pada 1612 Surabaya sudah merupakan bandar perdagangan yang ramai menurut catatan dari orang Belanda yang pertama kali datang ke Jawa Timur di bawah pimpinan Cornelis Houtman (tahun 1596). Banyak pedagang Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang pribumi.
Dengan datangnya Belanda, melalui VOC berakhirlah perdagangan bebas di Surabaya. Keraton Surabayapun hilang dengan berpindahnya kekuasaan Surabaya ke tangan penguasa Hindia Belanda Van Imhoff, pada 11 April 1746. Di Surabaya diangkat seorang Gezaghebber in den Oostthoek (Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa).
Setelah kebangkrutan VOC, Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintah Belanda. Tahun1808-1811 Surabaya di bawah pemerintahan langsung Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang menjadikan Surabaya sebagai kota Eropa kecil. Surabaya dibangun menjadi kota dagang sekaligus kota benteng.
Jejak kekuasaan Pemerintah Belanda di Surabaya yang terlihat hingga kini adalah ketika mendatangi Pasarean Sentono Boto Putih di kawasan Ampel. Keberadaan makam Sultan Banten terakhir, Sultan Safiudin di samping makam Pangeran Lanang Dangiran atau Kyai Ageng Brondong.
Sultan Banten terakhir adalah Sunan Banten ke 17. Sultan Safiudin diturunkan dari jabatannya sebagai sultan Banten oleh Belanda. Sultan Safiudin pada tahun 1832 dibuang ke Surabaya. Keluarga Sultan Safiudin yang memiliki uang ikut dengan Sultan ke Surabaya, sedangkan yang tidak punya uang menyingkir ke Menes, Pandeglang. Dalam pembuangan itu, keluarga sultan tidak membawa apa-apa. Sepanjang 1832-1945 Sultan Safiudin beserta keturunannya tidak diizinkan untuk datang ke Banten.
Maulana Mohammad Shafiuddin (begitu Nama yang tertera pada prasasti makam Beliau), raja Banten ke XVII meninggal pada 3 Rajab 1318 H atau 11 November 1899. Meninggal dalam pengasingan karena tidakan Belanda. Dimakamkan di kampung Pesarean Sentono Botoputih, Surabaya yang pintu gerbangnya persisnya berlokasi di Jalan Pegirian namun lokasi kompleks pesarean berada di Kampung Botoputih Gang II.
No comments:
Post a Comment