Garut terkenal dengan sebutan Swiss van Java karena hawa yang dingin,keadaan kota yang tenang dan indah seperti keadaan kota Switzerland di Eropa. Hawa kota Garut yang dingin dan sejuk dikarenakan merupkan daratan yang berada di cekungan antar gunung, yaitu komplek Gunung Guntur, Gunung Haruman dan Gunung Kamojang di sebelah barat. Gunung Papandayan dan Gunung Cikuray di sebelah selatan tenggara. Gunung Cikuray, Gunung Talagabodas dan Gunung Galunggung di sebelah timur. Tidak hanya keadaan alam yang membuat Garut menjadi terkenal masyarakat Garut terkenal merupakan pemeluk agama Islam yang kuat dan taat.
Gerbang pemakaman Cinunuk tempat peristirahatan terakhir Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) |
Kedatangan saya ke Garut adalah dalam rangka bekerja. Tinggal di Garut selama empat hari, mengunjungi pusat keramaian (seperti Alun-alun kota Garut, Pasar Ceplak, Mall Garut), bertemu dan berdiskusi dengan masyarakat Garut membuatku semakin yakin bahwa suasana kebersamaan, rendah hati dan kesederhanaan adalah prinsip hidup masyarakat Garut. Ketika menginap di daerah Cipanas, lantunan ayat al Quran, shalawat dan tauziah terdengar jelas dan bergema di antara pegunungan membuat saya tak berhenti bersyukur kepada Allah atas nikmat pemandangan alam yang luar biasa dan karunia tinggal di daerah yang kental aura ke Islamannya. Lantunan al Quran dan shalawat menggunakan bahasa Arab yang beraksen Sunda dan ceramah menggunakan Bahasa Sunda. Kejadian seperti ini di Jakarta saat malam minggu sudah tidak pernah kudengar lagi. Agama Islam kemudian terasa seperti budaya Islam, menyatu dengan darah masyarakat Garut ini membuatku penasaran siapakah wali yang menyebarkan agama Islam pertama kali di Kota Garut ini.
Gerbang masuk menuju komplek makam Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) dan keluarga |
Untuk menjawab pertanyaan ini kemudian Aji dan Zien, teman kami dari Garut mengajak kami berziarah ke seorang yang merupakan wali Allah di kota Garut menurut sejarah Islam Sunda yaitu Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak). Beliau dimakamkan di pemakaman Cinunuk, Wanaraja, Garut. Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) wafat a Senin malam tanggal 17 Safar tahun 1317 H, atau tahun 1819 M. Makam beliau tidak pernah sepi dikunjungi peziarah baik dari dalam kota maupun luar kota. Kebanyakan peziarah yang datang di makam Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) datang dalam rombongan kecil berbeda dengan peziarah yang datang ke makam walisongo di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah yang sering datang dalam rombongan besar. Menurut Aji teman saya yang asli Garut, kebanyakan peziarah Garut datang ke makam wali dalam rombongan kecil (4 sampai 8 orang) karena masing – masing mereka memiliki intepretasi akan ziarah wali yang berbeda di setiap kampung.
Apabila Sunan Ampel menyebarkan agama Islam dengan menciptakan lagu lir ilir, Sunan Bonang dengan gending, Sunan Kalijaga dengan mempopulerkan lagu tombo ati dan gending jawa maka wali Allah dari Garut yang saya ziarah ini yaitu Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) pun menggunakan pendekatan kesenian dalam menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat Garut. Ketertarikan Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) dalam menghaluskan rasa melalui kesenian tradisi melahirkan karya seni monumental, yaitu kesenian tradisional Boyongan. Terdapat beberapa jenis kesenian tradisi yang selalu dipagelarkan waktu itu, diantaranya: wayang golek, reog, pantun, wawacan (beluk), tembang, karinding, terbang, tari dan boboyongan.
Makam wali Allah di Garut, Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) |
Dalam pementasan semua kesenian itu senantiasa diselipkan ajaran Islam berupa petuah, suri tauladan, gambaran bagi orang-orang yang mau berbuat kebenaran, dan larangan-larangan bagi orang yang berbuat kezaliman. Kecintaannya dalam bidang ilmu pengetahuan melahirkan sebuah karya naskah sastra Sunda kuno berjudul Wawacan Jakah dan Wawacan Aki Ismun. Melalui dua media ini, Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) menyebarkan syiar Islam kepada masyarakat luas. Putra dari Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) bernama Raden Djajadiwangsa pada 1910 melanjutkan dakwah ayahnya dengan menciptakan kesenian Surak Ibra. Surak Ibra menjadi salah satu kesenian yang berasal dari jawa barat. Ketika menciptakan Surak Ibra, putra Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) yaitu, Raden Djajadiwangsa merupakan orang kuwu (kepala desa) di Kampung Sindangsari Desa Cinunuk Kecamatan Wanaraja Garut.
Kesenian tradisional Surak Ibra ciptaan putra dari Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) bernama Raden Djajadiwangsa ini dikenal juga dengan nama Boboyongan Eson. Pesan Surak Ibra pada awalnya adalah kesenian yang menyiratkan sindiran atau pernyataan ketidaksetujuan pada pemerintah Belanda kala itu. Dalam Surak Ibra ini juga terkandung suatu niat masyarakat Garut untuk memiliki pemerintah dan pemimpin sendiri dengan semangat bersatu antara pemerintah dan masyarakat. Digawangi oleh 40-100 pemain, Surak Ibra menampilkan pertunjukan dengan alat kesenian berupa kendang penca, angklung, dog-dog, kentungan, dan lain-lain.
Salam kenal dari orang Garut
ReplyDeleteWalaikumsalam Mas Roniyusron.. terima kasih telah mampir
ReplyDeleteBangga euy urang boga darah Garut...dan pastinya urang ge bangga Jadi URANG ISLAM...!
ReplyDelete